Kalau saya mengucapkan hal ini, bukan berarti saya asistennya Tuhan 
yaaa, sampai punya kesimpulan seperti itu. Tapi mungkin karena orang 
yang ekstrim baik dan orang yang ekstrim jahat itu selalu terpatri dalam
 ingatan kita, jadinya dua jenis orng inilah yang kita perhatikan. Dan 
kadang kita ‘kecewa’ terhadap apa yang terjadi.
Kok yang baik mati duluan sih? Kok yang jahat masih hidup, ketawa-ketawa lagi!
Terlepas dari sampel saya ini bener atau tidak, karena pastilah tidak 
ada data  populasi orang baik dan orang jahat di dunia, jika hal ini 
kita asumsikan benar, sesungguhnya apa sih yang terjadi pada orang baik 
itu, sehingga cepat mati?
Yang pertama, orang baik itu tidak bisa berbuat jahat. Jadi 
kalau dia mengalami kejahatan, rasa itu hanya dipendam sendiri. Ada 
memang yang bisa mengikhlaskannya, merelakan dijahatin, memaafkan dengan
 tulus, melupakan, malah mengasihani yang menjahati , bahkan 
mendoakannya. Itu tingkatan paling tinggi, tidak  semua orang bisa. 
Kebanyakan malah dipendam sendiri, tidak mau cerita ke orang lain karena
 khawatir membebani. Jadilah dia tekanan batin, karena tidak bisa 
melampiaskan emosi negatif. Tidak bisa tidur, gelisah, selalu mikir, 
akhirnya jadi penyakit deh.
Yang kedua, orang baik itu hidupnya santai, susah berubah. Kalau orang jahat, pikirannya selalu disibukkan dengan ‘besok mau ngapain ya‘
 sekaligus dia menyusun rencana aksinya. Kalau orang baik  hidup apa 
adanya, dilakoni saja, semua sudah ada yang mengatur. Akibatnya, ketika 
hidup ternyata tidak bisa ‘gini-gini aja’ orang baiknya kaget dan sulit 
menyesuaikan diri. Kalau orang jahat, sudah tahu pekerjaannya beresiko 
tinggi, sehingga ia lebih waspada dan fleksible menyesuaikan perannya. 
Orang baik jadi stress dong, sementara orang jahat menganggap itu biasa,
 sudah menjadi bagian dari pekerjaannya.
Yang ketiga, orang jahat lebih kuat mental. Selalu diperlakukan jahat 
oleh lingkungan, pihak yang berwenang, dikhianati teman seperjuangan, 
menyebabkan orang jahat selalu siap menutup kuping secara virtual jika 
ada yang berusaha menyadarkannya, menutup mata daripada melihat tatap 
mengiba korbannya, dan menyiapkan hati sekeras karang. Yang menyadarkan 
siapa? Ya orang baik tadi. Seperti membentur tembok rasanya usaha si 
orang baik. Kalau ngga kuat mental, bisa-bisa orang baiknya bisa 
distorsi, atau depresi.
Yang keempat, orang baik biasanya diincar banyak orang jahat. Iya 
lah..pada gemes..kok ada ya orang sebaik itu, selurus itu. Jadi 
timbullah niat untuk menggodanya, untuk mencobainya, kalau perlu, untuk 
menjerumuskannya sehingga sama seperti mereka. Tantangan yang besar buat
 mereka, dan keberhasilan yang patut dirayakan kalau berhasil 
melakukannya.
Lalu pesan apa yang mau saya sampaikan, sebelum nanti ada yang komen ‘kalau gitu, mending jadi orang jahat dong!’.
 Pesan saya, hidup cuma sekali. Kalau kita memilih jadi penjahat dengan 
semua kelebihannya, kepergian kita ke surga bisa-bisa ditolak 
mentah-mentah sama malaikat penjaga.
Kalaulah menjadi orang baik adalah jawaban satu-satunya, ya cobalah 
menjadi orang baik yang tulus, biar ngga ada yang dipendam. Jadi orang 
baik yang pintar, karena tahu apa yang harus dilakukannya. Dan menjadi 
orang baik yang tahan mental, sehingga tidak gampang terpengaruh 
kemurnian hati dan jiwanya.
Intinya, Orang baik ngga boleh lugu.
sumber: Indri Hapsari (kompasiana)
 

 
No comments:
Post a Comment